BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Masalah
Istilah arbitrase berasal dari kata “Arbitrare” (bahasa Latin) yang berarti “kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan”. Definisi arbitrase dalam Pasal 1 angka 1 UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, arbitrase yaitu cara penyelesaian suatu sengketa di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Pada dasarnya arbitrase adalah suatu bentuk khusus Pengadilan. Poin penting yang membedakan Pengadilan dan arbitrase adalah bila jalur Pengadilan (judicial settlement) menggunakan satu peradilan permanen atau standing court, sedangkan arbitrase menggunakan forum tribunal yang dibentuk khusus untuk kegiatan tersebut. Dalam arbitrase, arbitrator bertindak sebagai “hakim” dalam mahkamah arbitrase, sebagaimana hakim permanen, walaupun hanya untuk kasus yang sedang ditangani.
Lembaga Arbitrase sebagai badan penyelesaian sengketa perdagangan tidak dibentuk oleh pemerintah, tetapi oleh para pengusaha sendiri. Lembaga Arbitrase merupakan badan peradilan swasta yang secara khusus berfungsi menyelesaikan sengketa perdagangan di antara para pengusaha. Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara negosiasi, mediasi, konsiliasi. Penyelesaian sengketa perdagangan melalui lembaga Arbitrase dapat dipilih karena diperjanjikan secara tegas “berdasarkan kehendak bebas” pihak-pihak berkepentingan yang diwujudkan dalam kesepakatan tertulis yang dibuat sebelum atau sesudah terjadi sengketa. .
2.2 Sejarah Arbitrase
Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa sebenarnya sudah lama dikenal meskipun jarang dipergunakan. Arbitrase diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan dipakainya Reglement op de Rechtsvordering (RV) dan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) ataupun Rechtsreglement Bitengewesten (RBg), karena semula Arbitrase ini diatur dalam pasal 615 s/d 651 reglement of de rechtvordering. Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak berlaku lagi dengan diundangkannya UU No. 30 Thn 1999. Dalam UU No. 14 Thn 1970 (tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman) keberadaan arbitrase dapat dilihat dalam penjelasan pasal 3 ayat 1 yang diantaranya menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari pengadilan.
2.3 Subjek Sengketa
Pihak yang bersengketa adalah para pengusaha yang berkehendak menyelesaikan sengketa diluar peradilan umum (pengadilan negeri). Kesepakatan tersebut dinyatakan dengan tegas dalam kontrak, ada dua jenis kontrak antara lain:
a. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Pactum de Compromitendo)
b. Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Akta Kompromi).
2.4 Objek Sengketa
Objek pemeriksaan abitrase adalah memeriksa sengketa keperdataan, tetapi tidak semuanya bisa diselesaikan melalui abitrase. Menurut Pasal 5 ayat 1 UU No. 30 Thn 1999 hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
2.5 Tujuan Lembaga Arbitrase
Lembaga Arbitrase bertujuan menyelesaikan perselisihan dalam bidang perdagangan, perindustrian, dan keuangan, baik yang bersifat nasional maupun internasional dan hak dikuasai sepenuhnya oleh para pihak. Dengan mengeluarkan suatu putusan yang cepat dan adil tanpa adanya formalitas atau prosedur yang berbelit-belit yang dapat yang menghambat penyelisihan perselisihan.
2.6 Status Lembaga Arbitrase
Status lembaga arbitrse adalah bebas (otonom) dan tidak boleh dicampuri oleh kekuasaan mana pun.
2.7 Arbiter
Arbiter adalah seseorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau oleh lembaga abitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui abitrase (Pasal 1 angka 7 UU no. 30 thn 1999). Menurut pasal 12 ayat 1 UU no. 30 thn 1999, untuk dapat ditunjuk menjadi arbiter syaratnya antara lain:
a. cakap melakukan tindakan hukum
b. berumur paling rendah 35 tahun
c. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa
d. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan abitrase
e. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya.
Berakhirnya tugas arbiter, antara lain:
a. Putusan mengenai sengketa arbiter telah diambil
b. Jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian arbitrase atau sesudah diperpanjang oleh para pihak telah lampau.
c. Para pihak sepakat untuk menarik penunjukan arbiter.
d. Apabila arbiter meninggal dunia maka ketua pengadilan negeri harus mengangkat arbiter penganti dan melanjutkan penyelesaian sengketa.
2.8 Peraturan Hukum Acara Arbitrase
a. Semua pemeriksaannya bersifat tertutup.
b. Bahasa yang digunakan dalam proses arbitrase adalah Bahasa Indonesia.
c. Pihak yang bersengketa mempunyai hak yang sama dalam mengemukakan pendapat.
d. Pihak ketiga di luar perjanjian dapat turut serta apabila terdapat unsur keterkaitan di dalamnya.
e. Para pihak telah memilih acara arbitrase.
f. Pemeriksaan sengketa dalam arbitrase harus dilakukan secara tertulis.
g. Boleh mengadakan pertemuan yang dianggap perlu di luar tempat arbitrase diadakan.
h. Pemeriksaan saksi dan para saksi ahli dihadapan arbiter atau Majelis Arbitrase.
i. Pemohon harus menyampaikan surat tuntutannya kepada arbiter atau Majelis Arbitrase dalam jangka waktu yang ditentukan.
j. Termohon harus menanggapi dan memberikan jawabannya secara tertulis dalam waktu 14 hari sejak diterimanya surat tersebut.
k. Setelah salinan jawaban diterima oleh pemohon, bersamaan dengan itu arbiter atau Majelis Arbitrase memerintahkan agar kedua belah pihak menghadap di muka sidang.
l. Pemeriksaan sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 hari sejak arbiter atau Majelis Arbitrase terbentuk.
2.9 Pelaksanaan Putusan Arbitrase
Putusan arbitrase merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir serta mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Putusan arbitrase tidak mengenal banding, kasasi, dan peninjauan kembali serta tidak dipublikasikan. Dengan kata lain, putusan arbitrase bersifat final. Ada dua putusan arbitrase, antara lain:
a. Putusan Arbitrase Nasional
pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 UU No. 30 Thn 1999. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaannya, putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri dalam waktu 30 hari seterlah putusan arbitrase diucapkan. Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (putusannya mempunyai kekuatan hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut.
b. Putusan Arbitrase Internasional
Pada awalnya pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di Indonesia didasarkan pada ketentuan Konvensi Jenewa 1927 dan pemerintah Belanda yang merupakan negara peserta konvensi tersebut menyatakan bahwa Konvensi berlaku juga di wilayah Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1958 di New York ditandatangani UN Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award. Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan Keputusan Presiden No. 34 Thn 1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftarkan di Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981. Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Thn 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing sehubungan dengan disahkannya Konvensi New York 1958. Dengan adanya Perma tersebut hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia seharusnya bisa di atasi. Tapi dalam prakteknya kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam eksekusi putusan arbitrase asing.
2.10 Pembatalan Putusan Arbitrase
Terhadap putusan arbitrase, para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila diduga terdapat unsur-unsur berikut.
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan dinyatakan palsu.
b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan.
c. Putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Permohonan putusan pembatalan ini harus diajukan secara tertulis dalam waktu tiga puluh hari sejak pendaftaran putusan arbitrase kepada panitera pengadilan negeri. Permohonan ini diajukan kepada ketua pengadilan negeri.
2.11 Kekuatan Eksekusi Putusan Arbitrase
Putusan abitrase mempunyai kekuatan eksekusi sama dengan putusan dari Pengadilan Negeri, sebab putusan abitrase dimintakan dan memperoleh perintah eksekusi dari ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat putusan abitrase itu diberikan. Kekuatan eksekusi tersebut dibuktikan oleh akta pendaftaran putusan arbitrase dan ditandatangani oleh arbiter atau kuasanya dan panitia pengadilan negeri yang bersangkutan.
2.12 Berakhirnya Tugas Arbiter dan Biaya Perkara Arbitrase
Dalam Pasal 73 UU No. 30 Thn 1999 tugas arbiter berakhir karena putusan mengenai sengketa telah dijatuhkan, jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian arbitrase atau sudah diperpanjang oleh para pihak telah lampau atau para pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukan arbiter.
Sedangkan biaya perkara arbitrase antara lain:
a. Honorarium arbiter
b. Biaya saksi dan atau saksi ahli yang dikeluarkan oleh arbiter
c. Biaya saksi dan atau saksi ahli yang diperlukan dalam pemeriksaan sengketa
d. Biaya administrasi
e. Semua biaya arbitrase yang menentukan adalah arbiter. Semua biaya tersebut dibebankan kepada pihak yang kalah.
2.13 Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase
Beberapa keunggulan abitrase antara lain:
a. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak
b. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal procedural dan administrative
c. Para pihak dapat memiliki arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil.
d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelengaraan arbitrase.
e. Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui prosedur sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Beberapa kelemahan arbitrase antara lain:
a. Arbitrase belum dikenal secara luas, baik oleh masyarakat awam, maupun masyarakat bisnis, bahkan oleh masyarakat akademis sendiri.
b. Masyarakat belum menaruh kepercayaan yang memadai, sehingga enggan memasukan perkaranya kepada lembaga-lembaga Arbitrase.
c. Lembaga Arbitrase dan ADR tidak mempunyai daya paksa atau kewenangan melakukan eksekusi putusannya.
d. Kurangnya kepatuhan para pihak terhadap hasil-hasil penyelesaian yang dicapai dalam Arbitrase, sehingga mereka seringkali mengingkari dengan berbagai cara, baik dengan teknik mengulur-ulur waktu, perlawanan, gugatan pembatalan dan sebagainya.
e. Kurangnya para pihak memegang etika bisnis sebagai suatu mekanisme extra judicial, Arbitrase hanya dapat bertumpu di atas etika bisnis, seperti kejujuran dan kewajaran.
2.14 Bentuk-Bentuk Arbitrase
Pada dasarnya ada 2 bentuk arbitrase, diantaranya arbitrase ad-hoc dan arbitrase institusional. Berikut perbedaannya.
Arbitrase ad hoc (volunteer)
|
Arbitrase institusional (permanent)
|
Arbitrase yang tidak terkoordinasi oleh suatu lembaga, dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase
|
Arbitrase yang dikoordinasi oleh suatu lembaga dan aturan-aturannya mereka tentukan sendiri
|
Dibentuk secara khusus atau bersifat insidentil untuk memeriksa dan memutuskan perselisihan sengketa tertentu dalam jangka waktu tertentu pula, setelah memutuskan sengketa berakhir pula arbitrase ad-hoc ini.
|
Arbitrase institusional adalah abitrase yang melembaga dan bersifat permanent, sehingga tidak berakhir setelah memutuskan sengketa.
|
Arbitrase ini tidak terkait dengan salah satu badan arbitrase sehingga tidak memiliki aturan tata cara tersendiri, baik mengenai pengangkatan arbiternya maupun tata cara pemeriksaan sengketa.
|
Arbitrase ini memiliki prosedur dan tata cara pengangkatan arbiter dan tata cara pengangkatan arbiter dan tata cara pemeriksaan.
|
2.15 Hubungan Arbitrase dan Pengadilan
Lembaga arbitrase masih memiliki ketergantungan pada pengadilan, misalnya dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase. Ada keharusan untuk mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan negeri. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap para pihak untuk menaati putusan.
Peranan pengadilan dalam penyelenggaraan arbitrase berdasar UU Arbitrase diantaranya mengenai penunjukkan arbiter atau majelis arbiter dalam hal para pihak tidak ada kesepakatan (Pasal 14(3)) dan dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase nasional maupun internasional yang harus dilakukan melalui mekanisme sistem peradilan yaitu pendaftaran putusan tersebut dengan menyerahkan salinan autentik putusan. Bagi arbitrase internasional mengambil tempat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pengadilan tidak berwenang memeriksa kembali perkara yang sudah dijatuhkan putusan arbitrasenya, kecuali apabila ada perbuatan melawan hukum terkait dengan pengambilan putusan arbitrase dengan itikad tidak baik, dan apabila putusan arbitrase itu melanggar ketertiban umum.
2.16 Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)
BANI adalah suatu badan yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia guna penegakan hukum di Indonesia dalam penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang terjadi diberbagai sektor perdagangan, industri, dan keuangan melalui abitrase dan bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya dalam lingkup peraturan perundang-undangan dan kebiasaan internasional. Badan ini bertindak secara otonom dan independen dalam penegakan hukum dan keadilan.
Prosedur arbitrasenya apabila para pihak dalam suatu perjanjian atau transaksi bisnis secara tertulis mencantumkan klausula arbitrase yaitu kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul diantara mereka sehubungan dengan perjanjian atau transaksi bisnis yang bersangkutan ke arbitrase di hadapan BANI, atau menggunakan peraturan prosedur BANI maka sengketa tersebut akan diselesaikan dibawah penyelenggaraan BANI berdasarkan peraturan tersebut dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan khusus yang disepakati secara tertulis oleh para pihak, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan UU yang bersifat memaksa dan kebijaksanaan BANI. Penyelesaian sengketa secara damai melalui arbitrase di BANI dilandasi itikad baik para pihak dengan berlandasan tata cara kooperatif dan non-konfrontatif.