2.1 Konsep-konsep Distribusi Pendapatan
Distribusi pendapatan nasional menggambarkan merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu negara di kalangan penduduknya. Distribusi pendapatan nasional akan menentukan bagaimana pendapatan nasional yang tinggi akan mampu menciptakan perubahan-perubahan dan perbaikan-perbaikan dalam masyarakat. Distribusi pendapatan nasional yang tidak merata, tidak akan menciptakan kemakmuran bagi masyarakat secara umum. Terdapat berbagai kriteria atau tolok ukur untuk menilai kemerataan distribusi pendapatan nasional, tiga diantaranya yang paling lazim digunakan.
2.1.1 Kurva Lorenz
Kurva Lorenz menggambarkan distribusi kumulatif pendapatan nasional di kalangan lapisan-lapisan penduduk secara kumulatif juga. Selain itu kurva ini juga memperlihatkan hubungan kumulatif aktual antara persentase jumlah penduduk penerimaan pendapatan tertentu dari total penduduk dengan persentase pendapatan yang benar-benar mereka peroleh dari total pendapatan selama, misalnya satu tahun.
Kurva ini terletak dalam sebuah bujur sangkar yang sumbu horizontalnya menggambarkan persentase kumulatif penduduk, sedangkan sumbu vertikalnya menggambarkan persentase kumulatif pendapatan nasional. Garis diagonal yang membagi bujur sangkar disebut “garis kemerataan sempurna” dimana Kurva Lorenz akan ditempatkan. Kurva Lorenz yang semakin dekat ke diagonal (semakin lurus) menggambarkan distribusi pendapatan nasional yang semakin merata, sebaliknya jika kurva Lorenz semakin jauh dari diagonal (semakin lengkung) berarti distribusi pendapatan nasional semakin timpang atau tidak merata.
2.1.2 Indeks atau Rasio Gini
Indeks atau Rasio Gini adalah suatu koefisien yang berkisar antara angka 0 hingga 1 (0<G<1). Rasio Gini ini menjelaskan tentang kadar kemerataan (ketimpangan) distribusi pendapatan nasional. Semakin kecil koefisiennya (mendekati nol) maka pertama semakin baik atau merata distribusinya, sebaliknya apabila koefisiennya semakin besar (mendekati angka 1) maka distribusinya kian timpang atau senjang.
Perhitungan Rasio Gini juga dapat dilakukan dengan cara matematik dengan rumus:
n
KG= 1 – å (Xi+1 – Xt)(Yt + Yt+1)
1
KG = Angka Koefien Gini
X = Proporsi jumlah rumah tangga kumulatif dalam kelas i
Fi = Proporsi jumlah rumah tangga dalam kelas I
Yi= Proporsi jumlah pendapatan rumah tangga kumulatif kelas I
2.1.3 Kriteria Bank Dunia
Kriteria ketidakmerataan versi Bank Dunia didasarkan atas porsi pendapatan nasional yang dinikmati oleh tiga lapisan penduduk.
Indikator ketimpangan distribusi pendapatan menurut Bank Dunia
Distribusi Pendapatan
|
Tingkat Ketimpangan atau Kesenjangan
|
Kelompok 40% penduduk termiskin pengeluarannya <12% dari keseluruhan pengeluaran
|
Tinggi
|
Kelompok 40% penduduk termiskin pengeluarannya 12% sampai 17% dari keseluruhan pengeluaran
|
Sedang
|
Pengeluarannya >17% dari keseluruhan pengeluaran
|
Rendah
|
2.2 KETIDAKMERATAAN DISTRIBUSI PENDAPATAN
2.2.1 Ketidakmerataan Pendapatan Nasional
Ketidakmerataan distribusi pendapatan merupakan salah satu permasalahana pembangunan sebab pertumbuhan ekonomi tidak banyak bermanfaat terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat apabila distribusi hasil pembangunan tidak merata. Terdapat 8 (delapan) penyebab ketidakmerataan distribusi pendapatan, diantaranya: pertumbuhan penduduk yang tinggi, inflasi, pembangunan daerah tidak merata, penggangguran tinggi, mobilitas sosial rendah, memburuknya nilai tukar produk NSB, dan hancurnya industri kerajinan rakyat.
Distribusi atau pembagian pendapatan antar lapisan pendapatan masyarakat ditelaah dengan mengamati perkembangan angka-angka rasio Gini. Namun koefisien ini sendiri bukanlah merupakan indikator paling ideal untuk mengukur ketidakmerataan distribusi pendapatan antar lapisan. Derajat ketidakmerataan pendapatan dinyatakan dengan koefisien Gini (Gini Ratio), yang bernilai 0 (Kemerataan sempurna) sampai dengan 1 (Ketidakmerataan sempurna). Sebaran Gini Ratio berkisar antara 0,50-0,70 = ketidakmerataan tinggi, 0,36-0,49 = ketidakmerataan sedang, dan 0,20-0,35 = ketidakmerataan rendah. Koefisien Gini dapat diperoleh dengan menghitung rasio bidang yang terletak antara garis diagonal dan kurva Lorenz dibagi dengan luas separuh bidang di mana kurva Lorenz itu berada. Dalam Ilmu Ekonomi Industri, Koefisien Gini juga dapat dipergunakan untuk melihat konsentrasi pasar.
Koefisien Gini yang ditaksir melalui pendekatan pengeluaran sebenarnya kurang relistis, cenderung kerendahan. Hal ini mengingat di dalam data pengeluaran, unsur tabungan yang merupakan bagian dari pendapatan tidak turut terhitung. Padahal porsi pendapatan ditabung umumnya cukup besar di lapisan masyarakat berpendapatan tinggi.
2.2.2 Ketidakmerataan Pendapatan Spasial
Ketidakmerataan distribusi pendapatan antar lapisan masyarakat bukan saja berlangsung secara nasional akan tetapi hal itu juga terjadi secara spasial atau antar daerah yakni antara daerah perkotaan dan pedesaan.
Ketidakmerataan pendapatan yang berlangsung antar daerah tidak hanya dalam hal distribusinya, tapi juga dalam hal tingkat atau besarnya pendapatan itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dengan cara membandingkan persentase penduduk pedesaan terhadap penduduk perkotaan untuk tiap-tiap golongan pendapatan.
Porsi penduduk pedesaan yang berada pada rentang pendapatan lapis bawah lebih besar dari pada porsi penduduk perkotaan. Sebaliknya pada rentang lapis atas, porsi penduduk perkotaan lebih kecil.
2.2.3 Ketidakmerataan Pendapatan Regional
Secara regional atau antar wilayah, berlangsung pula ketidakmerataan distribusi pendapatan antar lapisan masyarakat. Bukan hanya itu, diantara wilayah-wilayah di Indonesia bahkan terdapat ketidakmerataan tingkat pendapatan itu sendiri. Jadi, dalam perfektif antar wilayah, ketidakmerataan terjadi baik dalam hal tingkatan pendapatan masyarakat antara wilayah yang satu dengan yang lain, maupun dalam hal distribusi pendapatan di kalangan penduduk masing-masing wilayah.
Dalam perbandingan antara pulau Jawa dengan luar jawa, secara umum distribusi pendapatan di kalangan lapisan-lapisan luar jawa lebuh baik dari pada di Jawa.
Dalam hal tingkat pendapatan sendiri, terdapat perbedaan yang cukup mencolok diantara wilayah-wilayah tanah air. Perbandingan ini dapat dilakukan melalui angka-angka produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita antar propinsi.
2.3 Kesenjangan sosial
Di lihat berdasar indikator, terlihat masih berlangsungnya kesenjangan kesejahteraan antara penduduk desa dan penduduk kota. Bahkan untuk beberapa variable atau indikator, sekalipun skor kesejahteraaannya mengisyaratkan adanya perbaikan, perbedaan itu cukup signifikan. Persentase penduduk berusia 10 tahun ke atas yang dapat membaca lebih besar di kota daripada di desa. Keadaan bayi dan anak-anak balita di kota lebih baik daripada mereka yang tinggal di desa. Kelayakan rumah penduduk kota jauh lebih baik daripada rumah penduduk di desa. Indeks mutu hidup di kota lebih baik daripada di desa. Semua ini cukup untuk membuktikan betapa masih memperhatikannya kesenjangan sosial antara penduduk desa dan penduduk kota.
Ketidakmerataan atau ketimpangan diukur dengan berbagai variabel serta dalam berbagai dimensi. Hal ini merupakan fenomena sampingan yang tak terelakan dalam PJP I. Ketimpanagan yang bersifat majemuk dan berskala nasional. Kendati sejak Pelita III aspek pemerataan menepati urutan sekaligus prioritas utama, namun dalam pelaksaanya tampaknya tidak sepenuhnya ditepati. Tekanan pembangunan sejak pelita III sebagaimana tercermin dari berbagai program atau proyek semisal pembangunan pembangunan SD inpers,pasar inpers,puskesmas dan berbagai sarana public lainnya. Hal ini tertuju pada upaya pengurangan kemiskinan, bukan upaya pemerataan. Pengurangan kemiskinan, bukan upaya pemerataan. Pengurangan kemiskinan memang perlu karena kemiskinan bertalian dengn ketimpangan. Sebagai suatu bangsa, bukan hanya ingin hidup lebih makmur, tetapi mendambakan kebersamaan dan kemakmuran kesejahteraan bersama yang relative setara, tanpa perbedaan satu sama lain.
Kesejahteraan merupakan keinginan lahiriah. Keadaan seperti itu dapat memenuhi kepuasan hidup manusia secara individu. Manusia merupakan makhluk social, setiap orang merupakan bagian hidup dari masyarakat. Dalam kapasitas sebagai makhluk social,manusia membutuhkan kebersamaan dengan manusia lain dalam masyarakat. Kesetaraan kemakmuran dalam arti perbedaan yang tidak terlalu mencolok, merupakan salah satu sarana yang memnungkinkan orang dapat hidup bermasyarakat dengan baik dan tenang,tidak menimbulkan kecemburuan social. Kemerataan sama pentingnya dengan kemakmuran. Penguragan ketimpangan atau kesenjangan sama pentingnya dengan pengurangan kemiskinan
2.4 Ketimpangan Pembangunan
Ketimpangan pembangunan di Indonesia selama ini berlangsung dan berwujud dalam berbagai bentuk, aspek, atau dimensi. Ketimpangan tersebut berupa pendapatan per kapita kegiatan atau proses pembangunan, ketimpangan spasial, serta ketimpangan sektoral dan regional. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat dari banyak hal, seperti bermunculannya kawasan kumuh (slumps) yang berada di tengah kota, selain itu juga dengan hadirnya pemukiman mewah yang berada di pinggiran kota. Perbedaan gaya hidup yang mencolok dalam masyarakat jua turut menjadi bukti terjadinya ketimpangan pembangunan.
Dalam mengatasi masalah ketimpangan pembangunan yang terjadi telah ada upaya untuk menanggulanginya seperti Peltia III, dilakukan dengan menempatkan pemerataan sebagai prioritas pertama dalam trilogi pembangunan. Tetapi hasilnya hingga kini belum juga memuaskan. Ketimpangan pada sektoral dan regional dalam suatu pembangunan dapat dilihat dengan menelaah perbedaan yang mencolok dalam aspek penyerapan tenaga kerja, alokasi dana perbankan, investasi dan pertumbuhan. Ketimpangan pertumbuhan anatara sektor tidak hanya terjadi pada masa pelita I sampai pelita V saja, namun juga direncanakan pada masa yang akan datang. Pada aspek pertumbuhan, ketimpangan sektoral akan terlihat mencolok apabila membandingkan antara sektor pertanian dengan sektor industri pengolahan.
Ketimpangan pertumbuhan antara sektor, khususnya sektor pertanian dan industri pengolahan merupakan suatu hal yang memang telah direncanakan. Perencanaan ini terkait dengan cita-cita nasional yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara industri. Demi mencapai negara yang maju, industrialisasi telah dipilih sebagai jalur pembangunan negara. Namun jika hanya berfokus pada sektor industri saja, maka tentunya dari sektor pertanian akan menglami ketimpangan. Seperti lahan pertanian akan semakin berkurang karena digunakan untuk lahan industri. Padahal sektor pertanian ini merupakan salah satu sumber pendapatan yang banyak didapat dari negara Indonesia. Oleh karena itu disamping peningkatan sektor industri, dari sektor pertanian juga tetap harus dipertahankan atau paling tidak diperbaiki lagi agar mutunya bisa lebih bagus.
Terjadinya ketimpangan dalam distribusi pendapatan nasional merupakan masalah yang sering terjadi dalam negara yang sedang berkembang. Berawal dari pendistribusian pendapatan nasional yang tidak merata, lalu berdampak pada ketimpangan pendapatan daerah dan memicu terjadinya dampak meningkatnya angka kemiskinan. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan ketimpangan pembangunan yakni :
1. Saat pertama kali diadakan Pelita, sumber daya alam, kapital dan sarana prasarana tidak setara terhadap sumber daya manusia, sektor ekonomi, serta wilayah. Sehingga peluang dan harapan dalam pembangunan menjadi tidak seimbang. Ada yang cepat menyerap tenaga kerja, namun ada juga yang lamban dalam menyerap tenaga kerja.
2. Terlalu berpusat pada sektor industri, sehingga sektor-sektor perekonomian yang lainnya cenderung diabaikan. Padahal sektor yang lainnya tersebut tetap dalam kondisi yang stagnan, terutama dari sektor pertanian, karena pada dasarnya Indonesia adalah negara agraris yang kaya akan dari sektor pertaniannya. Sebagaimana keyakinannya yang cenderung condong terhadap sektor industri tentu nantinya akan berprinsip efisiensi sebagai pijakan utama. Sektor industri selalu memproduksi barang dan jasa serta berprinsip mencari keuntungan yang banyak dengan modal yang sedikit. Dari kegiatan produksi tersebut tentu nantinya akan banya tercipta para pemilik modal. Akibat dominasi modal maka setiap hasil produksi tersebut nantinya akan banyak menguntungkan dari para pemilik modal. Sedangkan dari para tenaga kerja mendapat penghasilan yang tetap dari upah yang diberikan pemilik tanah. Para pemilik tanah mendapatkan laba dari sewa tanah yang telah disepakati dengan pemilik modal.
Dalam sistem pembagian pendapatan ini cenderung ditetapkan secara sepihak olehpemilik lahan akibat posisi tawar mereka yang jauh lebih kuat daripada para buruh tani. Oleh karena itu, ketimpangan pemerataan pendapatan dalam hal ini bukanlah merupakan dari kebijakan pemerintah yang mengutamakan sektor tertentu, namun karena ketidak adilan pembagian hasil pendapatan.